Linkin Park Band Multitafsir


Linkin Park Band Multitafsir. Linkin Park tak pernah bosan menawarkan multitafsir dalam  berkarya.  Seperti terlihat dalam single terbaru mereka, Burn It Down, yang menyemburkan aneka tafsir dalam liriknya. Ada sebagian orang, menafsir lagu ini sebagai lagu cinta. Tapi sebagian lagi, justru mencerapnya sebagai lagu kritik sosial. Mana yang benar? 
Sebenarnya, tak ada benar salah dalam menafsir karya Linkin Park.  Band Nu-metal asal California ini, justru senang jika karya mereka menimbulkan multitafsir. Bahkan sebelum Burn It Down dirilis pada 12 April lalu, vokalis Linkin Park, Chester Bennington sudah mengirim sinyal tentang multitafsir itu.

Kata Bennington,  membuat lagu yang berujung beragam perspektif, sangatlah istimewa. Karena tidak mudah, dan butuh perenungan.  Seperti lirik lagu yang ia tulis dalam single Burn It Down, berikut ini:
… We're building it up to break it back down
..  We're building it up to burn it back down
.. We can't wait to burn it to the ground

Semua orang bebas menafsir lagu tadi, mau dibawa ke urusan cinta, bisa-bisa saja. Mau ditafsirkan sebagai lagu kritik sosial, juga sah-sah saja.
Malah ada yang menafsirkan lagu ini, sebagai jeritan hati Linkin Park, atas ambruknya perekonomian di negara – negara barat. Sekali lagi, semua bebas menafsirkannya.
Sebenarnya, bukan sekali ini saja, Linkin Park menggulirkan lirik lagu beragam makna. Di tahun 2006 silam,  lewat single Numb di album Meteora , Linkin Park juga memainkan senjata multitafsirnya.
Sebagian menafsirkan lagu ini sebagai lagu patah hati. Dan, sebagian lagi memilih tafsir kehampaan hidup, sementara ada pula yang menyatakan lagu Numb sebagai protes terhadap pemimpin tirani.
Berikut cukilan lirik Numb:
I’ve become so numb I can’t feel you there
(aku menjadi begitu mati rasa, aku tak mampu merasakan kehadiranmu)
I’ve become so tired so much more aware
(aku menjadi sangat letih untuk menyadari)
I’m becoming this all I want to do
(yang kuinginkan hanyalah menjadi seperti ini)
Is be more like me and be less like you
(semakin menjadi diriku dan semakin tidak sepertimu)
Saat menggelar konser di Jakarta, September tahun lalu, lagu Numb juga diperdengarkan.  Namun cara menikmati lagu ini, membedakan interpretasi penonton. Ada penonton wanita yang menjerit, karena putus cinta dan merasa senasib dengan lagu ini.  Juga ada teriakan  garang penonton pria, yang menganggap lagu ini sebagai protes sosial terhadap lingkungan mereka. Semua bebas menafsir, seperti apa, terserah anda.
Ganti Nama, Ganti Musik
Kabar di luaran mengatakan, Linkin Park mahir membuat lirik lagu multitafsir, karena masa lalu mereka. Sebuah masa lalu yang menyisakan cerita  ganti-ganti nama juga merombak aliran musiknya.  Sikap ambigu inilah, yang disebut-sebut ikut mempengaruhi karya mereka.
Entah benar atau tidak, tapi faktanya band ini memang berkali-kali bongkar pasang nama juga berkali-kali mengubah warna musik mereka.
Awalnya, mereka mengusung nama   Xero, kemudian berganti  Hybrid Theory, Masih belum puas, nama 0818 pun mereka pakai sebagai nama band.  Sebelum akhirnya, mengusung nama  Linkin Park. Nama terakhir ini, tersinpirasi dari nama taman di Los Angeles, Lincon Park.
Soal aliran musik pun, mereka senang berganti-ganti warna
Itu baru soal nama. Soal aliran musik pun, mereka senang berganti-ganti warna. Di awal terbentuk, aliran rock menjadi pijakan bermusik.  Namun warna musik itu berganti lagi menjadi hip hop, bersamaan dengan masuknya seorang DJ atau turntablis bernama Joe Hahn.
Tak berlama-lama dengan hip hop, Linkin Park kemudian berganti warna musik metal dan rap core. Di  album Minutes To Midnight,  LInkin Park malah mengusung aliran musik alternative rock.

Dua Nyawa 
Band yang lahir di tahun 1996 silam ini, makin menancapkan kukunya di jagat musik dunia. Kekompakan bermusik enam personelnya, yaitu:  Mike Shinoda (backing vokal, rapper),  Chester Bennington (vokal), Brad Delson (gitar), Joe Hahn (turntable), Phoenix (bas), dan Rob Bourdon (drum) ini,  pada akhirnya mampu membawa Linkin Park ke tangga kesuksesan. Dari sederet nama tadi,  ada dua nyawa yang membuat Linkin Park, mendunia, yakni Mike Shinoda dan Chester Bennington.

Michael Kenji Shinoda, atau Mike Shinoda, lahir  11 Februari 1976 di Agoura, California.  Dialah yang memompa Linkin Park untuk menetaskan karya-karya bernas. Di grupnya ini, Shinoda  melakukan peran multifungsi yakni backing vocal, rapper, kadang kibordis, kadang pula gitaris.
Mike Shinoda menghabiskan masa kecilnya di Agoura, dan belajar piano klasik selama 10 tahun. Setelah bosan ber-klasik ria, Mike memainkan jazz juga hip hop.  Jalan hidupnya sebagai musisi, mulai ia patri seusai menonton konser Anthrax dan Public Enemy. Sejak itulah, ia memutuskan jadi musisi sejati.
Mike sangat berperan dalam unsur hip-hop Linkin Park. Ia juga menulis lirik lagu bersama Chester.  Mike dijuluki The Glue, karena memiliki kemampuan untuk menyatukan beda pendapat dalam tubuh Linkin Park.
 Sementara Chester, jelas memiliki andil besar di Linkin Park. Karena dialah, sang vokalis yang memiliki suara beroktaf tinggi. Chester juga penulis lirik lagu, yang memiliki banyak padanan kata.
Jika sampai sekarang, lagu-lagu Linkin Park memiliki arti multitafsir, salah satunya karena Chester ini.
Pria pendiam tersebut, memiliki ciri khas yakni scream atau berteriak kencang (tapi merdu). Beberapa lagu Linkin Park, yang dikenal publik, memunculkan scream Chester, di antaranya: One Step Closer dan  Given Up. Khusus dalam lagu Given Up, Chester berteriak selama 18 detik!
>>>
Kehormatan The Raid
Selain bermusik, Linkin Park juga laris manis ditawari membuat soundtrack film. Lagu Iridescent, misalnya, dijadikan soundtrack film Transformer : Dark of The Moon.
Linkin Park juga punya andil yang cukup besar dalam sejarah penulisan novel Twilight.  Ceritanya, karena dua album mereka, Hybrid Theory dan Meteora, adalah album kesukaan Stephanie Meyer, si penulis novel Twilight.
Dengan lagu-lagu Linkin Park tadi, Meyer mendapatkan beragam inspirasi dalam penulisannya.   “Saya terus memutar ulang musik mereka. Beat lagunya yang kencang membuat saya bekerja lebih cepat,” ujarnya.
Kekaguman Meyer, akhirnya berlanjut ke layar lebar. Sang penulis novel, meminta agar Linkin Park membuat soundtrack film tersebut. Dan, akhirnya tembang Leave Out All The Rest dari album Minutes To Midnights masuk sebagai soundtrack film Twilight.
Buat Indonesia, Mike Shinoda berkenan membuatkan musik untuk Film The Raid, yang dibintangi Iko Uwais. Musik yang dibesut Mike, membuat film ini jadi semakin bertaji.
Mulai dari adegan penyerbuan gedung, hingga adegan perkelahian, ilustrasinya dibuat oleh Mike. Dengan musik latar inilah, film The Raid mampu membangun suasana menegangkan buat para penonton.
Boleh dibilang,  apa yang dilakukan Mike adalah kehormatan buat The Raid. Karena di Indonesia, baru film inilah yang bisa menarik perhatian seorang Mike Shinoda.
Keputusan Mike membantu The Raid,  memang  mengejutkan. Karena dia bukan sosok musisi gampangan, yang bisa diajak kerjasama  untuk membuat karya. Mike adalah pribadi yang pemilih, dan mengedepankan kualitas.

Selain itu, Mike tak bisa diatur-atur. Semua karyanya, baik di film atau bersama Linkin Park, berpijak pada kebebasan. Ia dan Linkin Park, tak mau mengerjakan sesuatu, yang biasa-biasa saja.  Memang dibutuhkan daya cerna tersendiri, untuk bisa menikmati karya-karya Linkin Park.  Karena di sana ada lirik lagu multitafsir, juga aransemen musik beragam warna. Lewat single Burn It Down di album  Living Things (2012),  Linkin Park  memanggil  kita untuk jadi penafsir.




Share your views...

0 Respones to "Linkin Park Band Multitafsir"

Posting Komentar

 

© 2011 Topik Kita

This blog run on iThesis Theme & hosted by Blogger